Selasa, 01 Desember 2015

Perkembangan dan Kebebasan PERS Di Indonesia


Selamat datang di softilmu, blog sederhana yang berbagi ilmu pengetahuan dengan penuh keikhlasan. Kali ini kami akan berbagi ilmu tentang Perkembangan PERS di Indonesia dan Kebebasan PERS. Sebelum membaca postingan kali ini, agar lebih mengenal Pengertian, Fungsi dan Teori PERS, silahkan sahabat membaca artikel kami sebelumnya
Artikel Penunjang : Pengertian, Fungsi dan Teori – Teori PERS Di Indonesia
A. PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA
Pers di Indonesia dimulai sejak dibentuknya kantor berita ANTARA didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalm rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Indonesia mulai mengembangkan pers pada penerbitan surat kabar pertama yaitu Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan yang terbit pada 7 Agustus 1774. Kemudian muncullah pengikutnya berupa surat kabar melayu antara lain Slompet Melajoe, Bintang Soerabaja (1861) dan Medan Prijaji (1907). Pada tahun 1912 terbit lagi majalah tertua di Indonesia yaitu Panji Islam. Lalu, surat kabar terbitan pertama Tionghoa yang pertama kali muncul yaitu Li Po (1901) kemudian Sin Po (1910). Surat kabar pertama di Indonesia yang menyiarkan teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah surat kabar Soeara Asia.

Tidak berhenti disitu saja, surat kabar Nasional yang memuat teks proklamasi yaitu  Tjahaja (Bandung), Asia Raja (Jakarta) dan Asia Baroe (Semarang).

Secara umum, di seluruh dunia terdapat pola kebijakan pemerintah  terhadap pers yang otoriter dan demokratis. Diantara keduanya terdapat variasi dan kombinasi, bergantung tingkat perkembangan masing-masing negara. Ada yang quasi otoriter ada yang quasi demokratis dan sebagainya.
PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA DAN KEBEBASAN PERS

B. KEBEBASAN PERS
Kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi manusia. UUD 45 pasal 28 berbunyi: “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai syarat pagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Meski kalangan pers di berbagai negara diberikan kebebasan dan telah menjadi lebih profesional, di berbagai belahan duania saat ini para wartawan tetap menghadapi intimidasi, kekerasan, pengasingan, pengasingan, penjara, bahkan hukuman mati atau pembunuhan.

Indonesia mengalami pengekangan pemerintah terhadap pers dimulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya.

Sejak itu hingga sekarang, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.

Masa pemerintahan Orde Baru, pembredelan, sensor, dan perlunya surat izin terbit yang secara resmi dilarang UU Pokok Pers (Pasal 4 dan 8, Ayat 2), tetap terjadi dengan dasar Permenpen 01/1984 Pasal 33h yang menghadirkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Konsep Pers Pancasila, Pers Pembangunan, dan pers kemitraan (pers, pemerintah dan masyarakat), membuat pers harus secara total tunduk kepada kekuasaan. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.

Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Sejarah ketiga media tersebut mengikuti sejarah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas, dan Monitor, yang semuanya dibredel tanpa proses pengadilan.

Perubahan kekuasaan pada tahun 1998, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, membuat pers menemukan kemerdekaanya.

Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah: kebebasan pers adalah satu pengejawantahan dari keikutsertaan warga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara.  SIUPP tidak lagi diperlukan.

Sejak 1998, pers Indonesia dapat mengabarkan berita secara transparan tanpa kekhawatiran SIUPP yang akan dicabut.

Tidak perlu takut lagi untuk menampilkan tokoh-tokoh kontroversial yang menggugat maupun berseberangan dengan pemerintah.

Tidak perlu ragu lagi untuk menyajikan berita atau laporan-laporan yang sebelumnya dinilai berisiko. Dengan dihapuskannya lembaga SIUPP, beberapa media yang sempat ”mati”, kini pun hidup kembali, seperti Majalah Berita Mingguan Tempo dan Harian Umum Sinar Harapan. Kalaupun tidak menghidupkan yang ”mati”, dengan segala kemudahannya, kini mudah ditemui suratkabat, majalah, berita radio, dan televisi maupun situs berita online baru.

Undang-Undang (UU) No 40/1999 tentang Pers menyebutkan, "Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum".
Kemerdekaan pers dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum.

Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dari Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sesuai dengan hati nurani insan pers.

Sekarang ini kebebasan sangat maju. Namun ada tekanan lain yang muncul, namanya pasar dan juga konglomerasi media.

Para pengusaha media bergandengan tangan dengan para penguasa, bukan saja dalam kerangka mau aman tapi juga mengembangkan pasar.

Ancaman terhadap kebebasan pers juga bisa muncul dari pemilik media itu, misalnya dengan alasan bisnis. Menurut survei National Democratic Institute, hampir 95 persen dari semua informasi soal politik yang diperoleh warga Indonesia –kecuali Maluku dan Papua—didapat dari surat kabar dan televisi yang pemegang sahamnya ada di Jakarta.

Pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”

Nah itulah postingan kami kali ini tentang Perkembangan PERS Di Indonesia dan Kebebasan PERS. Apabila masih ada yang belum dimengerti sahabat bisa menanyakannya pada kolom komentar di bawah. Terimakasih telah berkunjung di softilmu, jangan lupa like, follow, dan Komentarnya ya J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar